Apakah Kamu Sudah Siap Menjadi Pasangan

Manusia cenderung menanyakan orang lain alih-alih mempertanyakan diri sendiri. Seseorang selalu berpikir mencari pasangan yang setia, mau menerima apa adanya, siap membersamai impiannya, tetapi mereka lupa mempertanyakan kepada diri sendiri. Apakah aku akan setia, apakah aku mampu menerima dia apa adanya, apakah aku siapmenjadi partner dia dalam meraih impian?


Mereka berpikir bagaimana nanti jika pasangan ternyata tidak setia? Namun, melupakan fakta bahwa setiap manusia memiliki potensi untuk menjadi tidak setia, termasuk dirinya sendiri, maka baiknya alih-alih mempertanyakan pertanyaan itu kepada calon pasangan, ada baiknya bertanya kepada diri sendiri. Apakah kamu memiliki kecenderungan untuk tidak setia?


Jangan berpikir bahwa yang penting perempuannya setia, laki-laki wajar jika tidak bisa, jangan. Sebab hubungan apa pun selalu akan hancur jika kepercayaannya dirusak. Jangan juga berpikir bahwa karena kamu perempuan pasti setia, jangan. Sebab perempuan juga punya potensi mendua.


Maka, sebelum kamu mencari calon pasangan, mengajak atau menerima proposal menikah seseorang dalam rangka taaruf, ada baiknya kamu mengajak diskusi dirimu. Menikah bukan perkara usia hidup, tetapi usia mental. Seberapa siapkah saat ini kamu menikah? Seberapa sanggup kamu menjalani rumah tangga? Jangan karena usia sudah masuk waktu menikah, lalu kamu berpikir sudah siap, tanpa bertanya kepada diri sendiri dan mengoreksi apa yang perlu dikoreksi.


Kamu bisa mulai dari berdoa, meminta Allah untuk membantumu dalam belajar menjadi pribadi yang siap untuk menikah. Menjadi pribadi yang lebih baik, bukan untuk siapa-siapa, tetapi bahkan setelah menikah pun mempersiapkan diri itu berguna untuk diri sendiri. Sebab akan ada banyak hal yang harus kamu lewati sebagai manusia yang memiliki mental, yang kadang-kadang tidak dapat dimengerti oleh orang lain selain dirimu sendiri.
 Lalu apa sih yang menjadi tolok ukur seseorang siap menikah?


1.Tahu bahwa orang lain tidak bisa bertanggung jawab atas kita
Mau menjadi istri atau menjadi suami, tidak lantas menjadikan beberapa tugas kita diambil alih oleh mereka. Maksudnya begini, tidak semua masalahmu bisa diselesaikan oleh suami atau istrimu. Tidak semua keperluanmu harus menjadi tanggung jawab suami atau istrimu. Bahkan makanmu bukan tanggung jawab suami atau istrimu. Ini menjadi keputusan yang diambil berdua, siapa yang memasak siapa yang belanja, bukan berarti itu memang pekerjaannya lantas yang lain lupa bahwa sebetulnya tadinya ini pekerjaan masing-masing, tetapi menjadi tugasnya karena pembagian pekerjaan rumah.


Supaya nantinya tidak ada kalimat, “Ini, kan, sudah tugasmu, kenapa kamu tidak mengerjakannya?” Melainkan bertanya, apakah ada yang bisa diambil alih karena salah satu sepertinya sedang banyak tugas. Karena sadar ini adalah pekerjaan rumah, bukan tugas salah satu orang saja, tetapi tugas berdua.
Bahkan bahagia setiap diri masing-masing bukan tanggung jawab yang lain, tetapi diri sendiri. Menjadi bahagia bersama adalah tugas yang harus dikerjakan berdua, bukan tugas yang harus dilakukan satu pihak agar pihak lain bahagia.


Sebelum menikah, tanyakan apakah dirimu sudah sadar akan tanggung jawab. Dimulai dari melihat perilaku sehari-hari, apakah kamu peka terhadap hal kecil yang sebetulnya penting, seperti bertanya apakah ibu lelah mencuci baju, mencuci piring, masak untuk keluarga? Karena ini, kan, rumah bersama, berarti bukan hanya tugas ibu, melainkan tugas bersama.


2.Apakah kamu siap berkompromi?
Tahu bahwa tidak semua hal yang kita mau harus diberikan oleh pasangan, karena kedua manusia yang menjadi suami dan istri ini tetap punya keinginannya sendiri. Jangan menjadi keras kepala untuk mempertahankan keinginan-keinginan yang sebetulnya tidak bisa dinikmati dua belah pihak. Sebagaimana pentingnya mencari tahu dan mencocokkan visi misi di dalam taaruf, kedua belah pihak tentu harus mengimplementasikan itu di dalam dunia rumah tangga.
Ketika salah satu pihak bersikukuh memenangkan apa yang dimau dan membuat salah satu lainnya menuruti, maka sebetulnya kemenangan itu tidak berarti. Sebab kenapa harus merasa menang ketika pasangan menuruti kemauan kita dengan tidak ikhlas, berat hati, atau mengorbankan hal yang dia inginkan.


Bukan berarti tidak boleh mendiskusikan keinginan yang tiba-tiba muncul karena kesempatan yang tiba-tiba didapatkan, ini tentu tetap harus dibicarakan dengan pasangan. Namun, ini perihal keinginan untuk misalnya membeli ini atau itu, padahal sejak awal sudah tahu bahwa rumah tangga mereka sedang mempersiapkan diri untuk membeli rumah sendiri. Atau keinginan untuk liburan ke mana, padahal sedang berkomitmen untuk menabung.
Intinya suatu keinginan yang bentrok dengan komitmen yang sudah dibuat sebelumnya.


Jadi, ketika kesadaran untuk mempertanyakan kepada diri sendiri apakah kita siap menikah atau belum ada pada diri setiap pemuda yang ingin menikah, maka kesadaran-kesadaran ini akan tumbuh lebih awal dan membantu dalam proses adaptasi. Membantu lebih luas dalam menilai, lebih hati-hati dalam mengucapkan sesuatu, lebih memikirkan semuanya secara matang daripada memenuhi kepuasan emosional saja.


Mudah-mudahan, ketika kamu belajar untuk mempertanyakan dua hal ini saja kepada dirimu sendiri, seseorang yang Allah persiapkan untukmu juga sedang belajar hal yang serupa.

Lebih baru Lebih lama