Manusia cenderung menjadikan manusia lain untuk sumber kebahagiaannya, yang mana ketika manusia lain tidak dapat membahagiakan maka dia akan kecewa. Bukankah hati letaknya ada di dalam diri setiap manusia? Jika semua manusia menyetujui bahwa hati letaknya di dalam diri sendiri, maka emosi juga tanggung jawab diri sendiri. Bahagia, sedih, marah, dan kecewa. Bahkan tidak ada yang bisa menyakiti hati, meski badan terluka, jika tidak dipersilakan oleh diri sendiri.
Sebagaimana halnya emosi merupakan tanggung jawab dan kontrol diri sendiri, maka menikah bukan untuk mencari sumber bahagia. Kenapa begitu? Bukankah tujuan menikah itu bersama dengan pasangan yang kita cintai dan hidup dengan bahagia. Tentu saja, tetapi bukan menjadikan orang lain sebagai sumbernya, bukan menjadikan pasangan sebagai sumber kebahagiaan lantas ekspektasi kita terhadap pasangan menjadi berlebihan tentang membahagiakan. Padahal arti menjadi bahagia di dalam pernikahan adalah membentuk kebahagiaan.
Membentuk bahagia bersama-sama dengan pasangan. Membentuknya dengan mencari rida Allah, sebab tujuan utama pernikahan tentu untuk beribadah kepada Allah, mencari keberkahan bersama-sama dengan sosok pasangan. Tujuan hidup ini dan tentunya tujuan-tujuan dalam segala hal yang kita lakukan memang seharusnya berkiblat kepada Allah, jika sudah begitu maka ekspektasinya akan ada di tempat yang benar.
Sebab sebagaimana yang kita ketahui ketika seseorang hendak menikah, maka ekspektasinya adalah menjadi bahagia. Tidak ada yang salah memang dari hal itu, tetapi jika ekspektasi ini tidak dibersamai dengan kesadaran, maka agaknya akan sangat berisiko.
“Aku ingin menikah, semoga setelah menikah semuanya akan membaik.”
“Aku bingung deh harus apa, kalau menikah mungkin aku nggak bingung lagi.”
“Semoga setelah menikah hidup ini jadi lebih menyenangkan.”
Jika ekspektasinya sudah mengarah ke sana dan ternyata setelah menikah tidak ada titik terang untuk menjadi lebih bahagia dan kehidupannya sama saja, atau lebih berat perjuangannya, maka barangkali kamu akan kecewa.
Untuk itu amat penting menjadi bahagia sebelum menikah. Untuk menjadi bahagia sebelum membahagiakan orang lain. Menjadi bahagia alih-alih mencari sumber kebahagiaan itu dari manusia lain.
Apa pentingnya?
1.Jika seseorang belum bisa bahagia, bagaimana dia membaginya?
Sesuatu yang bisa dibagi haruslah diproduksi terlebih dahulu, bagaimana kebahagiaan bisa dibagi jika seseorang belum tahu caranya berbahagia? Jika seseorang masih mencari sumber kebahagiaan dari orang lain, terus kecewa lagi dan lagi tanpa bisa mengontrol emosinya, bukankah sepertinya terlalu berat untuk membagi kebahagiaan yang tersisa amat sedikit di hati dan membaginya untuk orang lain?
Belajar cara bahagia berarti tahu cara mengatasi kesendiriannya, tidak bersedih hanya karena seseorang tidak punya waktu dengannya karena sadar setiap manusia punya kesibukan. Tahu cara menyaring ucapan orang lain yang menyakitkan dan tetap bahagia walau kesal bukan main. Tahu cara berbahagia dan memproduksinya saat diri sendiri mau.
2.Jika sudah tahu cara bahagia, sumber bahagia adalah kesyukuran itu sendiri
Ketika seseorang mampu memproduksi kebahagiaan sesuai yang dia butuhkan, perasaan akan lebih lega, perjalanan menjadi nyaman, dan hubungan dengan orang lain tidak akan menjadi saling menuntut satu sama lain. Kebahagiaan itu bisa bersumber dari hal-hal tidak tampak yang sebetulnya sangat berharga, seperti bahagia saat masih bisa bangun di pagi hari dan menatap pasangan yang sehat. Masih bisa makan bersama pasangan di dalam rumah yang layak. Pasangan masih memiliki pekerjaan walau sibuk dan jarang ada waktu.
3.Jika ekspektasinya adalah beribadah maka kebahagiaan justru akan mengikuti
Ketika ekspektasinya menjadi bahagia, maka artinya manusia itu sudah punya tolok ukur kebahagiaan, yang mana jika kebahagiaan itu sendiri tidak sampai pada level yang ditentukan berarti belum bisa disebut bahagia. Berbeda ketika ekspektasinya adalah beribadah, maka kebahagiaan sekecil apa pun akan terasa sangat bermakna dan rasanya luar biasa.
Apakah berarti dia yang punya tolok ukur bahagia tidak mendapat kebahagiaan? Tentu mendapatkan, tetapi dia cenderung fokus kepada ukuran yang sudah dibuatnya sendiri sampai tidak menyadari kebahagiaan yang ia dapatkan. Dia lupa bahwa dunia ini penuh misteri dan tidak ada ukuran pastinya selain bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Esa.
Maka jika kamu berharap dapat membahagiakan seseorang, kamu berharap bisa hidup bahagia dengan seseorang, itu artinya kamu harus tuntas dengan diri sendiri. Harus mengerti cara memproduksi kebahagiaan itu sendiri. Sehingga tidak perlu orang lain untuk membuat bahagia, tetapi kamulah yang membagi kebahagiaan itu.
Mudah-mudahan setelah ini kamu menyadari dan mampu memetik sesuatu dari tulisan ini dan berhasil mencari caramu untuk berbahagia dengan diri sendiri.