Analisis Fundamental adalah teknik analisa yang umumnya digunakan oleh investor untuk membantu keputusan jual beli saham. Artikel ini akan membahas tentang Analisis Fundamental dengan cukup menyeluruh. Mulai dari definisi, fungsi, dan berbagai teknik analisis yang digunakan untuk mencari saham terbaik untuk investasi. Dengan membaca artikel ini, Anda memahami tentang penggunaan Analisis Fundamental secara umum.
APA ITU ANALISIS FUNDAMENTAL?
Analisis Fundamental atau Fundamental Analysis adalah teknik analisa yang memperhitungkan berbagai faktor, seperti kinerja perusahaan, analisis persaingan usaha, analisis industri, analisis ekonomi dan pasar makro-mikro. Dari sini dapat diketahui apakah perusahaan tersebut masih sehat atau tidak. Dari pengecekan tersebut, investor dapat mengetahui mana perusahaan yang dalam kondisi baik dan bisa dipilih untuk investasi.
SIAPA YANG MENGGUNAKAN ANALISIS FUNDAMENTAL?
Umumnya pengguna Analisis Fundamental adalah investor, terutama investor saham jangka panjang.
ANALISIS FUNDAMENTAL BISA UNTUK ANALISIS APA SAJA?
Analisis Fundamental tidak terbatas untuk saham, bisa juga digunakan untuk forex, emas. Caranya saja yang berbeda. Tapi biasanya kalau orang menyebut Analisis Fundamental biasanya merujuk pada saham. Investor yang murni menggunakan aspek fundamental di dalam menentukan keputusan investasinya disebut dengan Fundamentalist.
APA YANG DIBUTUHKAN UNTUK BISA MELAKUKAN ANALISIS FUNDAMENTAL?
Analisis Fundamenal membutuhkan data untuk bisa dianalisis. Data bisa didapatkan dari berbagai berita, data ekonomi, dan laporan keuangan yang dirilis oleh emiten yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
- Berita perusahaan bisa didapatkan dari koran, media elektronik
- Data ekonomi bisa didapatkan dari rilis Badan Pusat Statistik atau Bank Indonesia.
- Data laporan keuangan perusahaan dirilis oleh emiten setiap 3 bulan sekali (kuartalan). Bisa didapatkan di website perusahaan masing-masing atau di website Bursa Efek Indonesia
Analisis Fundamental: Nilai Instrinsik dan Rasio Keuangan
Setelah melakukan pendekatan analisis Top Down Approach, hal selanjutnya yang juga penting adalah menghitung nilai wajar (fair price) alias nilai intrinsik sebuah saham.
Nilai wajar ini pun kemudian dibandingkan dengan harga pasar saham tersebut. keputusan transaksi beli atau jual pun nantinya didasarkan pada perbandingan nilai wajar dan harga pasar saham tersebut.
Untuk menghitung nilai wajar ini kita harus mengestimasi arus kas yang akan dihasilkan oleh perusahaan dari sekarang hingga seterusnya.
Arus kas ini berasal dari laba bersih usaha. Arus kas ini kemudian divaluasikan dalam nilai saat ini dan dijumlah untuk mendapatkan nilai wajar. Metode ini ditemukan oleh Benjamin Graham, penulis buku The Intelligent Investor.
Perusahaan sekuritas biasanya memiliki analis saham yang menghitung nilai wajar sebuah saham. Analisis ini dilakukan secara berkala karena kondisi makro dan mikro sebuah perusahaan tentunya akan terus berubah. Para analis ini pun memiliki spesialisasi sektor industri untuk mempertajam keakuratan analisisnya.
Secara sederhana, harga saham dapat diprediksi dengan menganalisis data keuangan yang tersedia. Untuk menganalisis kondisi keuangan perusahaan, investor dapat memanfaatkan laporan keuangannya yang merupakan gambaran kondisi keuangan perusahaan pada suatu saat atau selama periode tertentu.
Laporan keuangan perusahaan yang sering dianalisis adalah laporan neraca dan laporan laba rugi. Neraca memperlihatkan seluruh aset yang dimiliki sebuah perusahaan pada suatu titik waktu serta sumber modal untuk membeli aset tersebut. secara berkala perusahaan publik yang terdaftar di bursa wajib memublikasikan laporan keuangannya.
Ada 6 rasio keuangan penting dalam analisis fundamental yang sering digunakan para analis fundamental dalam memilih saham.
#1 EPS (Earning Per ShareI)
Rasio pertama adalah EPS, atau kepanjangannya adalah Earning Per Share, yang berarti laba bersih per lembar saham. Bila EPS bernilai Rp100, artinya setiap lembar saham menghasilkan laba sebesar Rp100. Cara menghitung EPS yaitu jumlah laba bersih dibagi dengan jumlah lembar saham beredar. Rumus menghitung EPS adalah:
EPS = Laba Bersih : Jumlah Lembar Saham
Carilah perusahaan yang memiliki EPS yang bertumbuh dari waktu ke waktu (trendpositif). EPS yang menanjak menunjukkan perusahaan bertumbuh dengan baik. Kemungkinan besar penjualan dan labanya naik. Sebaliknya, EPS yang turun menunjukkan penurunan penjualan dan laba.
#2 PER (Price to Earning Ratio)
Rasio kedua adalah PER, atau kepanjangannya adalah Price to Earning Ratio, yaitu rasio yang menggambarkan keuntungan sebuah perusahaan dibandingkan harga sahamnya. Rumus untuk menghitung PER adalah:
PER = Harga Saham : Laba per Lembar Saham (EPS)
PER adalah lama waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan modal yang dipakai untuk membeli saham. Misalnya, saham seharga Rp100 dengan EPS sebesar Rp20 per tahun, artinya saham tersebut memiliki PER sebesar: Rp100 : Rp20 = 5x.
Artinya jika laba perusahaan tidak bertumbuh atau menyusut, alias tetap Rp20 per tahun, kita membutuhkan waktu 5 tahun untuk kembali modal. Ada 2 cara menghitung PER:
- Trailing PER, yaitu PER yang dihitung berdasarkan EPS tahun lalu.
- Forward PER, yaitu PER yang dihitung berdasarkan EPS estimasi di masa mendatang.
Sebuah saham dianggap murah bila PER-nya lebih rendah daripada PER rata-rata di dalam sebuah industri, misalkan sebuah perusahaan tambang memiliki PER di bawah rata-rata PER industri pertambangan, maka saham tambang tersebut akan dianggap murah.
Alternatifnya, bila kita tidak melihat rata-rata PER industri, sebagai patokan umumnya, saham dengan PER di bawah 10x dianggap murah, dan saham yang memiliki PER di atas 20x dianggap mahal.
#3 PBV (Price to Book Value)
Rasio ketiga adalah PBV, atau kepanjangannya adalah Price to Book Value, rasio yang menggambarkan seberapa besar pasar menilai harga sebuah perusahaan dibandingkan kekayaan bersihnya. Rumus untuk menghitung PBV adalah:
PBV = Harga Saham : Nilai Buku per Lembar Saham (BV)
Misalkan PBV sebesar 2x, artinya harga saham sudah tumbuh sebesar dua kali lipat dibandingkan kekayaan bersih suatu perusahaan. Umumnya investor disarankan untuk mencari saham dengan PBV yang lebih rndah daripada rata-rata PBV industri.
PBV yang tinggi bisa jadi disebabkan oleh harga pasar yang sudah terlampau tinggi. PBV rendah sering dijadikan indikator mencari saham yang murah atau Undervalued.
#4 ROE (Return On Equity)
Rasio keempat adalah ROE, atau kepanjangannya adalah Return On Equity, yaitu rasio perolehan laba bersih yang dibukukan perusahaan dibandingkan dengan total kekayaan bersih yang dimiliki oleh perusahaan. Rumus untuk menghitung ROE adalah:
ROE = Laba Bersih : Kekayaan Bersih
Misalnya, ROE sebesar 10% berarti setiap Rp100 kekayaan bersih perusahaan yang ditanamkan oleh pemodal dapat memberikan kontribusi laba bersih sebesar Rp10. ROE merupakan indikator seberapa efisien sebuah perusahaan dijalankan.
Pertanyaannya, bagaimana cara menilai ROE? Apakah misalnya ROE sebesar 20% itu bagus atau tidak? Ada 2 cara yang dapat digunakan untuk menilai ROE, yaitu:
- Bandingkan dengan ROE perusahaan sejenis dalam industri yang sama, atau bisa juga membandingkan dengan rata-rata ROE industri.
- Bandingkan ROE perusahaan dari waktu ke waktu (melihat trend-nya), apakah cenderung naik atau turun.
Sebaiknya kedua cara di atas digunakan bersama-sama untuk memperoleh analisis yang lebih lengkap. Carilah saham yang memiliki ROE yang meningkat serta cukup stabil. Angka ROE sebaiknya kalau bisa minimal 10%.
#5 DY (Dividend Yield)
Rasio kelima adalah Dividend Yield, yaitu rasio yang menggambarkan seberapa besar pembagian dividen yang dibagikan oleh perusahaan terhadap harga sahamnya di pasar. Rumus untuk menghitung Dividend Yield adalah:
DY = Dividend per Lembar Saham : Harga Saham
Misalnya, jika sebuah perusahaan membagikan dividen per lembar saham sebesar Rp100, dan harga saham saat ini sebesar Rp1.000, maka dividend yield-nya adalah sebesar 10%. Carilah saham yang memiliki dividend yield yang cukup besar karena hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan memiliki kestabilan laba bersih. Disarankan dividen yield minimal sebesar 3%.
Namun perlu dicatat, tidak semua emiten di Bursa Efek Indonesia membayar dividen. Perusahaan bisa saja pelit dalam membagi dividen asal harga sahamnya terus naik, karena keuntungan investasi saham sebetulnya bukan hanya dari dividen, namun juga dari capital gain.
Misalnya Microsoft. Inc yang harganya telah naik sebesar 240 kali lipat selama tahun 1986 hingga 2003, padahal pada periode tersebut Microsoft tidak pernah membagikan dividen.
#6 DER (Debt to Equity Ratio)
Rasio keenam adalah DER, atau kepanjangannya adalah Debt to Equity Ratio, yaitu rasio jumlah hutang dan kewajiban yang dimiliki perusahaan dibandingkan dengan modal bersihnya. Rumus untuk menghitung DER adalah:
DER = Total Kewajiban (Hutang) : Kekayaan Bersih (Modal Sendiri)
Bila DER < 1, maka menunjukkan bahwa perusahaan memiliki hutang lebih sedikit dibandingkan modal bersihnya, sedangkan bila DER > 1, maka perusahaan memiliki risiko keuangan yang besar. Secara umum, investor disarankan untuk mencari saham yang memiliki DER tidak lebih dari 1.
Analisis Fundamental dan Rasio Keuangan
Analisis fundamental meliputi perhitungan nilai wajar (fair price) saham dan analisis rasio-rasio keuangan. Nilai wajar tersebut kemudian dibandingkan dengan harga pasar. Jika nilai wajar lebih tinggi dari harga saham, maka ada potensi keuntungan, dan keputusannya adalah membeli saham tersebut. Sebaliknya bila nilai wajar lebih rendah, maka keputusannya adalah menjual saham tersebut.
Ada 6 rasio keuangan yang perlu diingat dalam melakukan analisis fundamental, selain itu pertumbuhan dan kestabilan EPS, ROE, dan Dividen juga perlu disimak. Keenam rasio keuangan penting tersebut yaitu:
- EPS (Earning Per Share)
- PER (Price to Earning Ratio)
- PBV (Price to Book Value)
- ROE (Return On Equity)
- DY (Dividend Yield)
- DER (Debt to Equity Ratio)
Selain menganalisis rasio keuangan, para investor juga dapat melakukan analisis kualitatif (non-keuangan), yaitu mencari tahu mengenai manajemen perusahaan, keunggulan bersaing perusahaan, bagaimana cara perusahaan menghasilkan laba, dan bagaimana model bisnis perusahaan tersebut.